TERBARU

Mengatasi Apatisme Pemilih Pemula

Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif bagi OKP dan Mahasiswa yang digelar Bawaslu Kota Tasikmalaya, Jabar. [istimewa]

Alat ukur Bawaslu bukan pemilih. Melainkan persoalan kerawanan Pemilu 2024, termasuk salahsatu tantangannya: Apatisme pemilih pemula.

Demikian disampaikan Ketua Bawaslu Kota Tasikmalaya Ijang Jamaludin S.Sy., ketika menggelar Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif bagi OKP dan Mahasiswa dengan mengusung tema “Membangun kesadaran generasi muda untuk bangkit dan berdaya dalam menjaga pemilu yang gembira” di salah satu hotel di kawasa Tawang, Kota Tasikmalaya, Jumat, 4 November 2022.

Dengan menggandeng OKP dan mahasiswa diharapkan bisa mengubah pola pikir pemilih pemula, sehingga bisa merumuskan program tindaklanjut berbasis lokal di komunitasnya atau organisasinya. Misalnya apatisme pemilih politik identias yang nantinya diramu dalam sebuah program yang dikembalikan kepada basic-nya.

“Mereka punya program dengan potensi kekuatan lokal, bagaimana pemilih pemula ini yang kisaran sampai tanggal 14 Januari sekitar 42 ribu bisa mengikis apatisme dan itu yang menjadi project besar dari Bawaslu Taski,” ucap Ijang kepada awak media.

Ditambahkannya, dengan adanya pemilu masyarakat seharus ikut gembira. Jangan malah menjadi apatis, “Semua yang terlibat dalam pesta pemilu, substansinya harus gembira karena ini adalah pesta untuk seluruh rakyat,” kata Ijang.

Dia menyebut bahwa salasatu kerawanan yang akan menitikberatkan pada kamtibmas dan kerawanan pemilu akan berimplikasi kepada pelanggaran misalnya administratif, kemudian pidana. “Padahal ada benang merah antara kerawanan kamtibmas dengan indeks kerawanan, jadi jika apatisme tinggi dan politik identitas tinggi akan memacu kamtibmas,” beber Ijang.

Ketika potensi kamtibmas pelanggarannya tinggi, lanjut Ijang, maka potensi pelanggaran pemilu  pun akan tinggi, “Ada dua kontek pengawasan pasrtisipatif kita, yaitu masyarakat mau melaporkan dan juga ada dimensi pendidikan yang dilakukan,” jelasnya.

Untuk pemilu saat ini, kata Ijang, ada satu fokus program yang bagaimana caranya melakukan pendidikan kepada pemilih pemula supaya tidak apatis. "Tapi jadikan bahwa momentum 2024 ini ada ditangan mereka, yang menentukan siapa yang harus jadi," kata Ijang.

Untuk pengawasannya, pada situasi ini berarti menjaga kualitasnya, bukan hanya hadir saja saat memilih, tetapi ketika ada indikasi pelanggaran, ada motif-motif politik identitas yang menyeret ke SARA bisa meng-counter. "Dengan punya kekuatan komunitas, mereka akan kembali daerahnya masing-masing,'' kata Ijang.

“Makanya saya rumuskan sampai di titik akhir itu, bisa nggak anak muda ini jaga lembur? Minimal itu mereka yang suka berkumpul di pos kamling sambil ngobrol-ngobrol, maka kita akan kembalikan program yang akan mereka bikin paska kegiatan ini adalah sesuai dengan kemampuan organisasinya, sesuai dengan daerahnya,” ujarnya.

Sekarang ini, lanjut dia, pihaknya sedang menyusun OKP yang di dalamnya ada dimensi empat mata indikator, salasatu dimensinya adalah kontestasi. "Di kontestasi ini ada ketersambungan antara apatisme dengan politik transaksional," kata Ijang. “Jadi ketika peserta pemilu itu tidak mampu mempengaruhi pemilih lewat kampanye, lewat mengajak, menjual visi misi, mereka akan melakukan politik transaksional,” tandas dia.

“Bahkan ada dua: Bagaimana kita merubah apatisme bagi pemilih pemula, dan pragmatisme untuk pemilih konvensional -- katakanlah yang berumur,” kata Ijang lagi.

Diakui Ijang, tantangannya memang berat. Tapi semua ini harus diatasi dan diantisipasi. Terutama mengingat pemilih Pemilu 2024 hampir 40% merupakan pemilih pemula. “Maka dimensi pengawasan, penyelenggaraan harus kita ubah. Ini jadi tanggungjawab semua, kita investasikan banyak hal untuk pengembangan pengawasan bagi anak muda,” pungkas Ijang. 

Susilo Jamhur (Tasikmalaya)

No comments