Kontroversi RUU KUHP
Oleh: Bobby Stiven, SH., LL.M, advokat dan dosen Fakultas Hukum Univerrsitas Tarumanagara.
Pada pertengahan bulan September 2019, para mahasiswa dari berbagai Universitas kembali melakukan demonstrasi di beberapa kota di Indonesia. Hal itu terjadi setelah adanya rencana pengesahan beberapa Rancangan Undang-Undang, salah satunya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut dengan RUU KUHP). Para mahasiswa mengkritisi bahwa dalam RUU KUHP terdapat “beberapa pasal yang kontroversial” dan meminta DPR untuk mengkaji ulang.
RUU KUHP merupakan rancangan undang-undang yang disusun dengan tujuan untuk memperbaharui atau “meng-update” KUHP yang berasal dari Wetboek van Srafrecht voor Nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini. Selain itu, RUU juga disusun dengan tujuan untuk mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara atau kepentingan individu, antara perlindungan pelaku terhadap pelaku dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.
RUU KUHP telah disusun sejak tahun 1968 dan mempunyai 628 pasal didalamnya. Namun karena dalam penyusunannya selalu disesuaikan dan mengikuti perkembangan kehidupan bermasyarakat selama lebih dari 50 tahun, maka tidak dipungkiri ada beberapa pasal yang mungkin dianggap kurang sesuai dengan kehidupan masyarakat milenial saat ini dan dianggap sebagai pasal-pasal kontroversial. Namun apabila benar-benar membaca dan memahaminya, maka dalam RUU KUHP tersebut banyak aturan atau pasal-pasal yang telah di-update menjadi lebih jelas dan rinci daripada KUHP. Selain itu, penyusunan RUU KUHP lebih rapi dan penulisannya menggunakan bahasa yang mudah dimengerti sehingga masyarakat seharusnya mudah untuk memahaminya.
Salah satu contohnya adalah pada buku kesatu RUU KUHP mengenai aturan umum, maka terlihat perbedaan yang sangat jelas daripada KUHP sebelumnya yaitu terdapat beberapa bab yang didalamnya lebih spesifik mengatur mengenai ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan, pidana dan pertanggungjawaban pidana, dan sebagainya. Selain itu, dapat dilihat pula dalam buku kedua RUU KUHP mengenai tindak pidana, maka terdapat banyak aturan atau pasal yang lebih jelas dan rinci, serta adanya beberapa penambahan yang disesuaikan dengan perkembangan RUU tersebut. Salah satu contohnya adalah pasal mengenai tindak pidana pembunuhan.
Tindak pidana pembunuhan di KUHP hanya disusun dalam satu bagian, namun dalam RUU KUHP disusun menjadi dua bab yaitu bab kesatu mengenai pembunuhan dan bab kedua mengenai pengguguran kandungan. Selain itu, tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 KUHP hanya menuliskan “barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa milik orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Berbeda dengan Pasal 464 RUU KUHP, maka diatur lebih spesifik terhadap korban tindak pidana pembunuhan tersebut dan memperberat hukuman pelakunya. Maksudnya apabila tindak pidana pembunuhan dilakukan terhadap Ibu, Ayah, Istri, Suami, atau Anaknya, maka pidana dapat ditambah 1/3 (satu per tiga). Hal itu tentu lebih baik daripada pasal yang ada di KUHP karena pada kenyataannya saat ini terjadi banyak kasus yang korbannya adalah keluarga sendiri. RUU KUHP memberikan hukuman lebih berat kepada pelaku supaya tidak banyak terjadi kembali kasus-kasus terkait tindak pidana tersebut.
Berkaitan dengan pasal-pasal kontroversial, maka salah satunya terdapat Pasal 431 RUU KUHP mengenai penggelandangan yaitu “setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori 1”. Berkaitan dengan pasal ini, maka banyak pihak yang memprotes atau mengecam karena adanya anggapan bahwa bergelandangan berarti orang yang tidak mempunyai harta sehingga tidak dapat membayar denda. Padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud bergelandangan adalah berjalan kesana sini tidak tentu tujuannya; berkeliaran (untuk orang); berpetualangan.
Perilaku bergelandangan dalam KUHP maupun RUU KUHP dikategorikan sebagai perilaku yang mengganggu atau melanggar ketertiban umum. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012, pelarangan hidup bergelandangan merupakan pembatasan yang menjadi kewenangan negara, sedangkan memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar merupakan kewajiban konstitusional negara yang harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan negara. Manakala negara dengan kemampuan yang ada belum sepenuhnya dapat melaksanakan kewajiban tersebut, tidak dapat menjadi alasan untuk membolehkan warga negara hidup bergelandangan. Dengan demikian, hal tersebut tidak menjadi alasan pembenar bagi siapapun untuk hidup melanggar hukum, melakukan penggelandangan, mengabaikan ketertiban umum, dengan alasan-alasan negara belum melaksanakan kewajibannya memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Berkaitan dengan pasal penggelandangan tersebut, maka jelas yang tidak diperbolehkan adalah hidup bergelandangan karena dapat melanggar ketertiban umum. Pasal penggelandangan dalam RUU KUHP sebenarnya juga telah memberikan keringanan hukuman yaitu denda paling banyak sebesar 1 (satu) juta Rupiah daripada yang diatur dalam Pasal 505 KUHP yaitu kurungan paling lama 3 bulan.
Dengan demikian, maka seharusnya kita membaca dan memahami terlebih dahulu tujuan dan makna dari setiap pasal karena hal itu tentu sudah dipertimbangkan oleh pembentuk ataupun perevisi Undang-Undang. Mungkin memang ada beberapa pasal yang kurang berkaitan dengan kehidupan masyarakat milenial di berbagai kota, namun RUU KUHP tersebut juga sebenarnya menjangkau masyarakat yang berada di pedesaan atau berbagai daerah lainnya. Selain itu, seharusnya kita mendukung RUU KUHP karena merupakan hasil karya anak bangsa dan apabila terdapat kesalahan, maka dapat dilakukan langkah hukum yaitu judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Sumber:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
- Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP)
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-X/2012
- Kamus Besar Bahasa Indonesia
No comments