TERBARU

Menang dalam Kekalahan


Oleh: Pitoyo Hartono,
  profesor di Departmen Teknik Elektro dan Elektronika Chukyo University Jepang.

Kemarin kesebelasan Jepang menelan kekalahan yang menyesakkan di piala dunia di babak 16 besar. Target mereka adalah 8 besar. Jadi target ini tak tercapai. Setelah mengalahkan 2 tim raksasa, Jerman dan Spanyol, mereka dikalahkan oleh Croatia dalam pertandingan yang fair. Kalah adalah kalah, Jepang tidak mengeluarkan satu patah katapun untuk beralasan.

Yang pertama keluar dari mulut para pemain dan pelatih mereka, Hajime Moriyasu adalah: terimakasih untuk pendukung mereka dan penyelenggara. Moriyasu membungkuk dalam-dalam di hadapan pendukungnya. 

Yang tidak banyak diketahui orang, dia kembali ke lapangan sejam setelah pertandingan berakhir, waktu hampir tidak ada media peliput. Dia sekali lagi membungkuk dalam-dalam di dalam stadion yang hampir kosong. Kali ini untuk menunjukkan rasa terimakasihnya dan kerendahan hatinya pada "tempat" pertandingan ini.

Tim Jepang memang kalah, tapi mereka tetap melakukan rutin mereka. Membersihkan kamar ganti, sebersih-bersihnya, melipat origami berbentuk tsuru (semacam burung bangau yang dipercaya membawa keberuntungan), menulis kata "terimakasih", kali ini dalam bahasa Arab, dan meninggalkan kamar ganti itu dengan sunyi.

Pendukung kesebelasan Jepang pun sama, mereka membersihkan stadion, bukan hanya area sekitar mereka duduk. Banyak yang melakukan ini sambil menangis. Mereka melakukan ini bukan karena ingin diliput, tapi karena ini budaya mereka. Dalam pertandingan liga nasional mereka J-league, mereka melakukan ini tanpa ada yang meliput. Semboyan mereka adalah : meninggalkan stadion dalam keadaan lebih bersih dari waktu mereka datang. Kapten kesebelasan Maya Yoshida, pernah mengatakan bahwa kebiasaan bersih-bersih ini sesuatu yang biasa, bukan sesuatu untuk diliput.

Melakukan sesuatu yang baik dalam kondisi senang itu gampang, semua orang bisa. Melakukannya dalam kondisi "jatuh" amat sulit. Ini perlu penguasaan diri dan disiplin yang ditanamkan sepanjang hidup.

Jepang bisa melakukan ini bukan karena mereka terlahir demikian, tapi karena dididik demikian. "Investasi pendidikan" mereka, dalam bentuk soft power, muncul pada saat mereka terpuruk sekalipun. Mereka menunjukkan pada dunia bahwa kemampuan dan penguasaan diri untuk berlaku lembut, sopan, disiplin dan beradab itu adalah power. Tanpa banyak mulut dan drama, mereka menunjukkan pada dunia "template" dari masyarakat yang beradab.

Kesebelasan Jepang dan para pendukungnya datang untuk menyuguhkan permainan sepak bola yang baik dan semangat sportivitas. Mereka tidak pernah meremehkan lawan, apalagi mengolok-olok lawan yang kalah. Mereka tahu bahwa lawan tanding mereka berusaha sama kerasnya dengan mereka. Hanya orang yang telah berusaha keras yang bisa menghargai usaha orang lain.

Kali ini mereka kalah dalam sepakbola, tapi soft power mereka menang. Mereka menang dalam kekalahannya. Investasi pendidikan mereka berbunga di Doha.


No comments