TERBARU

Sains, Filsafat dan Storytelling (Tanggapan untuk Goenawan Mohamad. Bagian kedua, dari dua tulisan)


Lukas Luwarsomantan Ketua AJI dan berbagai organisasi pers internasional.

Filsafat Bertutur
“Suasana senja di sebuah pelabuhan kecil,” tutur Goenawan Mohamad (GM), adalah contoh kesyahduan alam yang tidak bisa dirasakan oleh sains.
GM begitu romantis merasakan alam dan kehidupan. Mungkin ia terpengaruh Goethe, pemikir era romantik, yang pernah bilang: “Perasaan adalah segalanya." Sikap romantisisme ini bisa menjelaskan mengapa GM sinis dan sengit memahami sains. Dunia bagi kaum romantik adalah kanvas indah yang penuh warna, puisi yang perlu dihayati. Dan sains, menurutnya, gagal memaknainya.
Filsafat romantisme memang dikenal lebih menekankan pada perasaan, ketimbang pada nalar murni (rasionalisme) atau dengan fakta dan data (empirisisme). Paradigma romantik melihat segala sesuatu dengan “nilai rasa” subyektif. Blaise Pascal, filsuf romantik, mengatakan “hati punya alasan yang akal tidak memahami” (the heart has reasons that reason knows nothing of).
Epistemologi romantik ingin memahami segala sesuatu secara holistik (togetherness of things), ketimbang deskripsi eksperimental yang analitis, logis, dan detil. Memakai intuisi atau perasaan hati—alih-alih memakai rasionalitas atau penelitian empiris—adalah misinya menafsirkan dan memaknai dunia.. Logika rasio dan bukti empiris tidak banyak berarti bagi kaum romantik, jika tidak menyentuh perasaan atau emosi. Tidak heran mereka lebih getol menafsir ketimbang memikir; mempertanyakan makna ketimbang menjelaskan fakta.
Kaum romantik lebih melihat manusia sebagai “insan” yang utuh, lengkap, dan sempurna. Mengabaikan bahwa manusia juga tersusun dari atom, sel dan molekul seperti mahluk lain, yang muncul (emergent) dalam proses evolusi panjang yang terus berlangsung dan belum usai—sebagaimana deskripsi kaum empiris.
Menikmati senja di pelabuhan kecil, memang romantik, namun apa perlu meromantisasi. Begitu banyak pelabuhan kecil yang mengalami senja tiap hari, satu rutinitas alam yang berulang setiap hari dan berpola sama. Kaum romantis perlu juga menyadari bahwa dibalik “keindahan senja di pelabuhan kecil ” selalu ada potensi ancaman gelombang badai, tsunami, atau kesedihan nelayan yang gagal menjaring ikan. Alam tidak selamanya indah, dan hidup tidak selalu mudah.
Filsafat romantisme yang cenderung superficial dipersoalkan oleh rasionalisme dan empirisme. Dua aliran filsafat yang kemudian melahirkan Positivisme (Auguste Comte). Pada gilirannya positivisme dikritik oleh neo-positivisme, fenomenologi, hermeneutika, post strukturalisme, termasuk post-modernisme.
Kritik terhadap paradigma positivisme Comte, yang menjadi basis paradigma sains, cukup gamblang dan “well taken”. Metode positivistik dinilai mereduksi realitas hanya pada fakta yang teramati; mengabaikan sifat kontingensi dan relativitas pikiran; menyeragamkan keunikan budaya manusia (sains tidak aplikatif untuk kajian humaniora, sosial atau budaya); sains juga memunculkan negativitas, seperti kerusakan lingkungan atau kesenjangan sosial. Poin-poin itu lah yang, lebih kurang, ditulis ulang oleh GM. Wacana lama yang kembali diulang.
Cukup rasanya ilustrasi memilah-milah epistemologis filsafat dalam aliran-aliran romantisme, rasionalisme, empirisme, positivisme dan seterusnya secara demarkatif. Kecuali untuk kajian historiografi pemikiran filsafat, berpolemik ala abad 19, berbasis “mazhab atau aliranisme” filsafat rasanya tidak perlu dilanjutkan.
Salah satu ironi filsafat adalah sulitnya merumuskan kesepakatan, bukan hanya di antara aliran filsafat yang berbeda, tapi bahkan di internal aliran yang sama. Ketidaksepakatan pada isu-isu filosofis yang mendasar membuat kritik filsafat lebih mirip kritik seni atau apresiasi sastra. Kritik pada sains, yang rigid metodenya., semestinya menggunakan metode yang jelas.
Tapi itu pula, misalnya, yang ditolak oleh filsuf Post-modernist, Paul Feyerabend, yang dalam bukunya “Against Method: Outline of an Anarchistic Theory of Knowledge” i(1975). Ia berargumen sains adalah “upaya anarkis” (an anarchic enterprise), metode sains itu tidak ada.
Feyerabend menawarkan, secara sarkastis, metode alternatif untuk sains: "anything goes" metode apa saja boleh. Baginya, tidak boleh ada dominasi atau pemaksaan, metode digunakan sesuai tujuan penelitian. Gagasan yang cukup “eksentrik” ini tentu tidak soal untuk diterapkan dalam ilmu humaniora dan sosial-budaya, tapi sepertinya tidak cocok untuk ilmu alam. Kritik sarkasme ala Feyerabend ini membuat dia terisolasi, dijauhi, oleh komunitas filsafat. Tapi uniknya, namanya diabadikan oleh komunitas saintis menjadi nama asteroid (22356, Feyerabend) sebagai penghormatan.
Sulitnya menyepakati konsep-konsep, misalnya, pada aliran terbaru filsafat (abad 21), aliran “speculative realism”. Para pengusungnya, antara lain Ray Brassier, Iain Hamilton, Graham Harman, atau Quentin Meillassoux. Mereka mengritik filsafat kritisisme Imannuel Kant, juga post-Kantianisme, sebagai “correlationism” yang cenderung “anthropocentrik”. Seperti, mengritik kritisisme perlu agar tetap kritis dalam mengritik.
Ironisnya, Ray Brassier, filsuf utama speculative realism, menolak dirinya disebut sebagai pengusung aliran ini. Ia menjaga jarak bahkan mengabaikan adanya label gerakan pemikiran ini (“speculative realist movement”) dan memilih menyebut aliran pemikirannya sebagai “nihilism”. Ia menyatakan: “Saya seorang nihilis, karena saya masih percaya kebenaran” (Kronos, 2011).
Di luar tuturan spekulatif dan label-label yang kadang membingungkan, filsafat tetap menarik sebagai paradigma berpikir. Filsafat penting untuk mengasah ketajaman berpikir dan mempertanyakan hal-ihwal. Namun filsafat juga memiliki kelemahan akut dalam kegemarannya menuturkan konsep-konsep dengan bahasa rumit. Dalam istilah Immanuel Kant, kegemaran filsuf “berakrobat kata-kata” (word jugglery) seringkali mengaburkan makna atau konsep filsafat. Istilah yang ironis, mengingat Kant sendiri terkenal sebagai filsuf yang gemar berakrobat kata-kata dan berumit-rumit dengan konsep.
Dalam filsafat, misalnya, terdapat paradigma “compatibilism”. Istilah ejekan bagi pemikiran yang berupaya menyelaraskan konsep yang bertentangan agar bisa “mutually compatible”. Misalnya soal pertentangan filosofis antara free will dengan determinisme, dikompatibelkan menjadi “soft-determinism”. William James mengejek kompatibilisme sebagai upaya menciptakan “rawa-rawa dalih” (quagmire of evasion) yang secara logika tidak konsisten. Immanuel Kant menyebut kompatibiisme sebagai “dalih celaka akal-akalan” (wretched subterfuge).
William James, filsuf pragmatisme dan psikolog Amerika, menyebut pertentangan pemikiran filsafat pada akhirnya bisa direduksi sebagai soal psikologis. Sejarah filsafat, menurutnya, adalah perbenturan perangai manusia (the history of philosophy is, to a great extent, that of a certain clash of human temperament). Saat berfilsafat, filsuf tenggelam dalam bias perangainya, dan meyakini, dunia sepakat dengan pemikirannya. “Human, all too human,” kata Nietzsche.
Pada akhirnya, apapun “drama” perdebatan atau polemiknya, filsafat (epistemologi), tunduk pada proses evolusi. Filsafat dalam perspektif sejarah juga berevolusi, paradigma berubah, dan lingkup kajian menyempit, dari hal general menjadi spesifik. Filsafat klasik mengulas alam semesta sebagai obyek kajian (Cosmocentrism); filsafat abad pertengahan beralih ke Tuhan (Theocentrism); lalu filsafat pencerahan membahas manusia (Anthropocentrism); dan beberapa dekade terakhir filsafat post-modern fokus membahas bahasa (Logocentrism).
Filsafat semakin menyusut wilayah kajiannya, ketika teori atau temuan sains dapat menjelaskan dengan lebih baik. Bertrand Russell dalam “The Value of Philosophy”, menyatakan filsafat adalah seni mengajukan pertanyaan, dan sains melalui metode pengukuran dan ekperimentasi memberikan jawaban. Russell menegaskan: “ketika pengetahuan definitif tentang satu subyek sudah ada, subyek pengetahuan itu berhenti sebagai filsafat, menjadi sains” (as soon as definite knowledge concerning any subject becomes possible, this subject ceases to be called philosophy, and becomes a separate science).
Studi tentang pergerakan benda-benda langit pada mulanya wilayah astrologi (mitologis), kemudian menjadi kajian filsafat (ontologi), dan selanjutnya menjadi sains astronomi. Peneitian mengenai unsur-unsur elemen materi semula adalah wilayah alchemy, kemudian menjadi ilmu kimia. Studi tentang pikiran dan mental (kesadaran) semula wilayah filsafat, kemudian menjadi psikologi dan berkembang lebih spesifik menjadi neuro-sains.
Apakah filsafat akan mati, jika wilayahnya makin menyempit? Tidak, karena hal-hal yang belum pasti tetap menjadi domain filsafat. Secara klinis filsafat tidak akan mati sejauh masih ada pertanyaan manusia yang belum terjawab. Kontemplasi filsafat tetap akan penting untuk memperluas konsepsi berpikir, memperkaya imajinasi intelektual, dan mengikis keyakinan dogmatis.
Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations (1953), menyebut tujuan filsafat bukanlah mencari kebenaran namun memberikan kelegaan (the aim of philosophy is not to seek the truth but rather to provide relief). Membebaskan dari penjara “pseudo-problem” berbagai pertanyaan manusia. Wittgenstein menganalogikan manusia seperti lalat yang terjebak dalam botol, dan filsafat “menunjukkan lalat jalan keluar dari botol” (to show the fly the way out of the fly-bottle).
Sains Bercerita
“The universe Is made of stories, not of atoms.” (Alam semesta terbuat dari cerita, bukan dari atom) — Muriel Rukeyser, penyair Amerika.
Umberto Eco dalam novel “Focault Pendulum” menuturkan, manusia tidak bisa menerima alam semesta lahir dari peluang atau kebetulan, karena empat atom saling bertumbukan. Maka cerita konspirasi kosmik perlu disusun—Tuhan, malaikat, setan (juga surga dan neraka) sebagai cerita . “Jika tidak ada rencana kosmik, sungguh menjengkelkan, hidup dalam pembuangan, tanpa tahu siapa yang membuang. Terbuang dari tempat yang tidak pernah ada.” (If there is no cosmic plan; what a mockery, to live in exile when no one sent you there. Exile from a place, moreover, that does not exist).
Dalam artikel “Our Brains Tell Stories So We Can Live” (Nautilus, 2019), neurolog Robert Burton menyatakan, tanpa bercerita manusia akan “tersesat di dunia yang chaotic.” Otak manusia adalah mesin pencari pola dan pencerita, selalu melihat pola pada apa saja yang dipersepsikan indera. Setelah menemukan pola, manusia akan menyusun cerita.
Selain bercerita, sains juga tertarik meneliti mengapa manusia suka bercerita. Ramachandran dan Hirstein dalam “The Science of Art: A Neurological Theory of Aesthetic Experience” (Journal of Consciousness Studies, 1999) memaparkan teori pengalaman artistik manusia dan bagaimana mekanisme kerja saraf. Kecenderungan manusia menyusun cerita terkait dengan hormon dopamin. Senyawa neurotransmiter yang mengalirkan arus informasi antar-neuron.
Otak melepaskan dopamin, sebagai insentif, saat manusia merasa senang, nikmat, atau puas. Itu sebabnya dopamin dijuluki happy hormones. Ia menstimulus hippocampus, bagian otak yang terkait dengan aktivitas mengingat dan memahami. Ia membuat naratif untuk disimpan dalam ingatan (episodic memory), sebagai sumber imajinasi. Ia juga membuat peta kognitif untuk dipakai sebagai navigasi arah dan tujuan kegiatan sehari-hari, agar tak mudah tersesat.
Manusia menyusun cerita mitologi, agama, filsafat, dan sains sebagai navigasi agar hidup lebih mudah dijalani. Berbeda dengan mode cerita mitologi dan agama yang memiliki akhir, cerita sains tidak pernah tamat. Tidak ada “the end, they live happily ever after.” Cerita sains terus bersambung, karena penjelajahan terra-incognita, wilayah yang tak diketahui, terus dilakukan. Cerita sains selalu diperbarui, dilengkapi, dan diuraikan dengan semakin detil. Tidak akan ada habisnya.
Cerita sains adalah rangkaian sejarah afirmasi memilah cerita faktual dengan yang non-faktual (takhyul, mitos, occultisme, atau spekulasi). Misalnya, pertanyaan, “dari mana dunia berasal, bagaimana alam semesta tercipta,” telah melahirkan berbagai versi cerita. Setiap suku bangsa memiliki cerita mitos penciptaan oleh dewa-dewa, versi masing-masing. Kemudian agama Samawi (Yahudi, Kristen, Islam), yang dominan dianut lebih dari tiga milyar manusia, mengambil alih narasi mitologis kisah penciptaan. Mereka meyakini, Tuhan monotheis menciptakan alam semesta dalam waktu enam hari.
Sains memiliki versi tersendiri “kisah penciptaan”. Teori dentuman besar (Big Bang) menjadi konsensus saintifik awal terbentuknya alam semesta, dan berevolusi milyaran tahun menjadi dunia seperti saat ini. Big Bang bukan cerita rekaan, ada dua bukti hasil penghitungan dan pengukuran valid: spektrum redshift (Hubble) dan gelombang micro cosmic (Penzias dan Wilson).
Kisah Big Bang dianggap valid pada 1964, setelah melalui proses penyelidikan dan perdebatan panjang. Pertama kali diindikasikan oleh Einstein dalam Teori Relativitas (1917) dan dirumuskan oleh George Lemaitre (1927) dengan istilah “Cosmic Egg” (telur kosmik) sebelum bernama Teori Big Bang.
Cerita alam semesta berubah dan harus direvisi berulang kali, sesuai dengan temuan dan pengukuran teknologi terbaru. Sebelum Teori Big Bang, manusia memahami “dunia” sebagai bumi datar tertutup kubah transparan yang menjadi batas langit. Dalam kubah transparan ini ada bintang, bulan dan matahari yang mengelilingi bumi sebagai semacam dekorasi. Ini adalah cerita versi paradigma Geosentrisme, bumi sebagai pusat dunia.
Cerita itu direvisi pada abad 16, dengan temuan Copernicus, Keppler dan Galileo, yang menunjukkan bumi dan planet-planet mengelilingi matahari. Ini adalah cerita versi paradigma Heliosentrisme, matahari sebagai pusat dunia.
Pada abad 17 astronom Charles Messier mengidentifikasi keberadaan galaksi, yang kemudian dinamai Bima Sakti (Milky Way). Pemahaman dunia Heliosentrisme harus direvisi. Tata surya matahari dan planet-planetnya ternyata cuma salah satu dari milyaran tata surya lainnya di dunia seluas satu galaksi.
Temuan Edwin Hubble (1929), kembali merevisi cerita dunia seluas galaksi. Ternyata di alam semesta bukan cuma satu galaksi, tapi ada ratusan milyar galaksi. Dan alam semesta ternyata mengembang dan meluas, bukan statis seperti yang dipahami sebelumnya. Cerita belum berakhir.
Teori Big Bang sebagai cerita sains ditulis oleh kolaborasi banyak saintis dalam jangka waktu yang panjang. Ibarat menyusun buku “sejarah alam semesta”, saintis masih belum bisa menulis beberapa paragraf awal: apa faktor yang memicu Big Bang. Cerita alam semesta akan lebih menarik jika dimulai dengan kalimat pembuka: “Pada suatu ketika” (once upon a time). Problemnya, tidak ada waktu sebelum Big Bang.
Aristoteles pernah berspekulasi alam semesta abadi, tidak berawal atau berakhir. Tapi menurut agama Samawi, Tuhan lah yang menciptakan alam semesta dalam waktu 6 hari. Apa yang dikerjakan Tuhan sebelum menciptakan alam semesta? Tidak ada penjelasan, itu misteri Tuhan.
Teori Big Bang juga menyisakan misteri yang serupa. Ada apa sebelum Big Bang? Alih-alih menyerah, “Oh itu misteri Big Bang”, sejumlah astrofisikawan mengajukan cerita (hipotesis) baru berjudul “String Theory.” Basis ceritanya: jika alam semesta adalah pertunjukan drama, partikel subatomik (quark, proton, neutro, elektron, fermion) adalah aktor-aktornya dan medan gravitasi adalah panggung.
String Theory bisa dianalogikan sebagai “koreografi musik yang mengawali Big Bang,” lahirnya alam semesta baru. Dalam kisah String Theory, alam semesta bukan cuma tunggal (universe) melainkan jamak (multiverse). Big Bang adalah proses kelahiran satu alam semesta (yang kita tinggali saat ini) dari sekian banyak alam semesta multiverse. Seperti layaknya organisme hidup, alam semesta lahir, tumbuh berkembang, menua, dan mati. Untuk lahir kembali.
String Theory menguraikan partikel subatomik muncul dari getaran dawai (String). Getaran dawai tertentu akan menghasilkan geliat partikel tertentu, sebagaimana bunyi senar (gitar, harpa, atau piano) yang berbeda menghasilkan nada berbeda. Dengan String Theory, adegan yang dimainkan berbagai partikel subatomik (para aktor) bisa dideteksi dalam panggung gravitasi. Alam semesta, menurut String Theory, adalah satu orkestrasi musik kosmik abadi.
Namun masih ada persoalan, cerita String Theory hanya berlaku jika panggung gravitasi bukan cuma tiga dimensi, melainkan 10 dimensi. Ini yang masih belum terkonfirmasi, dunia yang dipahami dan bisa diobservasi manusia, sejauh ini, cuma empat dimensi. String Theory benar secara hitungan matematis, namun belum terbukti bisa diobservasi secara empiris. Ceritanya masih dianggap fiksi, belum menjadi fakta.
Tuturan ringkas kisah alam semesta ini diuraikan sekedar sebagai ilustrasi, menunjukkan proses cara sains menulis cerita. Proses kolaborasi saintis, manusia pintar dari berbagai penjuru dunia, bekerja sama untuk menjawab pertanyaan. Pasti tidak semudah proses seorang penulis romantik, seperti GM, ketika membuat puisi atau artikel.
Kembali pada tulisan GM, STBLTS. Ia mencoba “membuktikan” prospek masa depan kemajuan sains dan teknologi yang muram, telah digambarkan oleh novel fiksi-sains dan film. Ia mencontohkan “Time Machine”, “Brave New World”, “Blade Runner” dan “Artificial Intelligence”.
Sepertinya GM mengalami konvolusi membedakan fiksi dengan prediksi, hiburan dengan kenyataan. Karya fiksi memikat konsumen dengan menjual drama, ancaman, atau kengerian. Karena cerita kebahagiaan, kedamaian, atau harmoni tidak menarik sebagai bacaan atau tontonan. Itu penjelasan mengapa novel atau film fiksi-sains berisi situasi distopian.
Karl Schroeder, novelis dan futurist, mengatakan, tugas penulis fiksi-sains bukanlah membayangkan mobil masa depan, melainkan memaparkan “kemacetan”. Karya yang mampu mengisahkan secara realistik skenario buruk akibat sains dan teknologi di masa depan pasti menarik. Bayangkan jika dinosaurus dalam serial film “Jurassic Park” jinak dan patuh pada manusia, pasti kurang menarik dan tidak laku. Mengisahkan masa depan yang muram, sebagai worst case scenario fiksional, adalah kontribusi penulis fiksi pada sains.
Filsuf estetika Perancis yang fokus mengamati teknologi, Paul Virilio, mengatakan “penemuan kapal juga artinya penemuan kapal-karam” (the invention of the ship was also the invention of the shipwreck). Ia mengingatkan setiap inovasi teknologi selalu diiringi potensi celaka. Ia mengintroduksi “dromology” (the science of speed), logika kecepatan, terkait dengan inovasi teknologi perang dan media. Kecepatan, menurutnya, mengubah hal yang alamiah. Siapa cepat akan menguasai yang lambat. Virilio menginginkan sains mengerem obsesi pada teknologi.
Dalam buku “The Administration of Fear” (2012), Virilio mempersoalkan kepesatan laju teknologi media. Menurutnya, komunikasi manusia via komputer dan internet telah “mendisrupsi ritme biologis dan pola musiman budaya manusia, mengakibatkan rasa takut dan cemas.”
Kekhawatiran pada kemajuan sains dan teknologi, bisa dijelaskan secara psikologis. Pada kasus Virilio, misalnya, ia mengalami trauma perang. Saat berumur 12 tahun, kota tempat tinggalnya (Nantes) luluh lantak akibat serangan Blitzkrieg pasukan Nazi Jerman. Trauma perang berpengaruh kuat pada pemikirannya, “perang adalah universitas saya’”.
Perang memang traumatik. Validkah menuding sains dan teknologi sinonim dengan perang? Bagi pemikir “alarmists”, seperti Virilio, teknologi memacu perang. Namun bisa dililihat sebaliknya: perang memacu inovasi teknologi. Manusia gemar berperang, dengan atau tanpa teknologi. Kisah manusia adalah rangkaian peperangan tanpa henti, sejak perang batu zaman purba hingga perang dengan senjata modern.
Alih-alih pemicu perang, sains dan teknologi boleh jadi akan menghentikan perang. Bom hidrogen yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki menghentikan perang dunia kedua: “The War To End All Wars”. Dengan adanya bom nuklir muncul kesadaran perang adalah kesia-siaan. Akan terjadi mutual destruction, jika manusia melanjutkan kegemaran berperang. Perang adalah soal hormonal manusia, teknologi dipakai untuk mengintensifkan agresivitas itu. Dugaan saya, di masa depan, sains akan bisa menghentikan problem hormonal ini, dengan menemukan vaksin yang bisa mengendalikan agresivitas manusia.
Perang suatu saat akan akan berhenti. Namun perang gagasan, “war of ideas”, akan berlanjut. Dalam polemik mempersoalkan sains saat ini, GM menyampaikan kekhawatiran, sains akan menjadi “panglima” pengetahuan manusia. Statemen ini sepertinya mencerminkan trauma GM muda, pada politik era Orde Lama (1960-an) ketika di Indonesia populer slogan “politik menjadi panglima”.
“Sains menjadi panglima” adalah istilah misnomer, salah frasa, dan tidak berbasis fakta. (Meski saya berharap suatu saat nanti terwujud “sains menjadi panglima pengetahuan”). Namun untuk saat ini, “panglima” manusia jelas masih politik dan politisi, politik masih menjadi penentu arah pengetahuan. Contoh yang paling jelas adalah isu “climate change”. Sains sudah menjelaskan bahaya perubahan iklim ini, namun banyak negara masih abai dan tidak peduli. Donald Trump menuduh sebagai teori konspirasi yang disebarkan China.
Selain politik, agama lah yang selama ribuan tahun menjadi “panglima” pengetahuan melalui doktrin dan dogmanya. Politik dan agama berkorelasi dan berkonspirasi menjadi panglima sepanjang peradaban manusia. Seringkali dengan inkuisisi, persekusi, dan otokrasi.
Mengistilahkan “sains menjadi panglima” adalah contradictio In terminis. Sains modern selalu berada di bawah bayang-bayang kekuasaan politik atau kepentingan bisnis. Riset sains yang begitu kompleks dan mahal saat ini memerlukan dukungan keputusan politik atau kepentingan bisnis agar bisa membiayai aktivitasnya. Sains, pada dirinya sendiri, tidak pernah bisa menjadi panglima. Jargon politik “Orde Lama” jelas tidak cocok dikenakan pada sains, sekalipun itu cuma metafora.
Ketimbang sebagai panglima, sains lebih pas dianalogikan sebagai “alat penunjuk arah”. Seperti aplikasi penunjuk jalan Google-Map, Waze, MapQuest, misalnya. Sains membantu manusia mengetahui pilihan destinasi, arah, dan rute yang sebaiknya ditempuh. Namun ke mana manusia mau menuju—ke masjid, ke kampus, atau ke red-district area—sepenuhnya keputusan manusia. Sains sebagai alat sering masih tunduk pada konsensus politik atau kepentingan bisnis.
Sains sebagai metode untuk mendapat pengetahuan baru dipakai kurang dari 300 tahun, bandingkan dengan agama dan filsafat yang setidaknya sudah 2500 tahun. Sulit pasti membayangkan, penemuan dan pencapaian saintifik seperti apa 2000 tahun ke depan. Jangankan 2000 tahun, kita bahkan sulit memprediksi kemajuan sains 50 tahun ke depan.
Dunia sains 25 tahun terakhir menunjukkan etalase kemajuan mencengangkan. Berbagai wacana lama tentang realitas ontologis mendapatkan tafsir baru. Dunia artificial Intelligence (AI) tak pelak akan mengakselerasi berbagai penemuan teknologi dan pengetahuan baru. Nick Bostrom adalah filsuf yang perlu dirujuk dan dikutip untuk memahami geliat dunia sains masa kini dan mendatang, ketimbang Husserl, Heidegger, Popper, atau Meillassoux.
Bostrom menulis risalah “The simulation hypothesis” menggagas realitas alam semesta sebagai simulasi. Sebuah pendekatan baru, technoscience, yang segar untuk wacana filsafat ontologi atau metafisika, dan memancing perdebatan menarik. Elon Musk dan David Chalmer, filsuf cognitive-science, termasuk penganut hipotesis simulasi ini. Bostrom juga menulis buku “Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies” (2014) menguraikan sejumlah problem filosofis tentang kemanusian dalam era mesin super cerdas di masa depan. Ia mendirikan The Future of Humanity Institute, lembaga pengkajian soal-soal kemanusian dan teknologi.
AI dan teknologi terbaru bukan hanya akan menjadi alat membantu, namun juga untuk mengetahui manusia dan realitasnya. Termasuk pertanyaan apa makna dan hakekat menjadi manusia. Untuk memahami kecerdasan, kita membuat kecerdasan buatan, untuk mengidentifikasi realitas, kita membuat realitas buatan (virtual reality dan augmented reality), untuk memahami manusia kita membuat cyborg. Dalam proses itu, manusia bukan hanya mencoba memahami, namun juga mengubah. Jika manusia bisa mengubah sesuatu menjadi lebih baik, mengapa tidak?
Faktanya, evolusi peradaban manusia adalah cerita tentang bagaimana manusia mengubah diri dan lingkungannya. Manusia membuat bahasa, tulisan, kesenian, mesin cetak, dan segala teknologi untuk kemajuan peradaban. Yuval Noah Harari menceritakan dengan baik dalam “Sapien” dan “Homo Deus” bagaimana proses sejarah manusia menjadi seperti saat ini, dan seperti apa kemungkinan masa depan.
Pengetahuan manusia adalah proses evolusi panjang. Terakumulasi dari yang sederhana menjadi semakin kompleks. Dari berpikir takhyul hingga sains. Evolusi natural telah melahirkan manusia, kita tidak tahu, ke mana evolusi kultural, yang berjalan sedemikian cepat, akan membawa perubahan pada manusia.
GM cemas dan khawatir pada implikasi perubahan dunia dan manusia akibat sains dan teknologi, dengan berfilsafat romantik. Tidak soal sebenarnya, jika GM memilih berhenti berpikir pada level filsafat, dan kritis mempersoalkan sains. Mengingat, banyak orang yang berpikirnya berhenti pada level takhyul dan mitos.
Judul esai GM “Sebuah Tempat yang Bersih, dan Lampunya Terang untuk Sains“, cukup puitis. Ada argumen filosofis di dalamnya. Namun tidak ada yang baru bagi yang serius mengikuti perkembangan sains dan cukup membaca filsafat. Esensi kritiknya pada sains agak melankoli. Cermin kecemasan: cemas pada dunianya yang tidak pasti, dan akan berubah.
Penutup tulisan GM agak konvolutif, ia menyatakan: “Sains tidak perlu dicurigai, namun tak perlu dipromosikan ke markas komando, menjadi otoritas tertinggi untuk kebenaran dan kebijakan.” GM curiga, yakin ada “pihak-pihak” yang berupaya menjadikan sains sebagai panglima komando kebenaran. Seriously, ini satu misteri “teori konspirasi” yang perlu diteliti secara sainstifik, siapa gerangan pihak-pihak itu?
Bagaimanapun, upaya GM perlu diapresiasi. Kecemasannya telah memicu polemik pemikiran yang intensif hampir sebulan terakhir. Saya berharap kekhawatirannya, betapapun tidak akurat, blessing In disguise, akan membangkitkan minat publik pada sains. Syukur kalau bisa mendorong munculnya kebijakan agar Indonesia “berkhidmat” pada sains dan memasyarakatkan scientific temper (perangai saintifik). Mengingat masih besarnya sikap ignorant masyarakat Indonesia pada ilmu pengetahuan, khususnya sains.

Karena seperti ucapan Alfred North Whitehead: “Bukan sikap masa bodoh yang membuat ilmu pengetahuan mati, tapi sikap masa bodoh pada kemasabodohan” (Not ignorance, but ignorance of ignorance, is the death of knowledge). Dalam konteks ini, GM telah memerankan posisi sebagai “The devil’s Advocate” bagi wacana sains di Indonesia.


Sumber: 
https://www.facebook.com/lukas.luwarso/posts/10157483425290794

No comments